Home » foto hot » Adik dan Kakak
Adik dan Kakak
Diposting oleh Om Kumis on Rabu, 12 Desember 2012
Kejadian
tersebut berawal pada saat berlangsungnya lanjutan rapat pengurus OSIS.
Rapat itu dilakukan sebagai persiapan sekaligus pembentukan panitia
kecil pemilihan OSIS yang baru. Seperti tahun-tahun sebelumnya,
pemilihan dimaksudkan sebagai regenerasi dan anak-anak kelas 3 sudah
tidak boleh lagi dipilih jadi pengurus, kecuali beberapa orang pengurus
inti yang bakalan “naik pangkat” jadi penasihat.
Usai
rapat, aku bergegas mau langsung pulang, soalnya sorenya ada acara
rutin bulanan: pulang ke rumah ortu di kampung. Belum sempat aku keluar
dari pintu ruangan rapat, suara nyaring cewek memanggilku.
“Didik
.. “ aku menoleh, ternyata Sarah yang langsung melambai supaya aku
mendekat. “Dik, jangan pulang dulu. Ada sesuatu yang pengin aku omongin
sama kamu,” kata Sarah setelah aku mendekat.
“Tapi Rah, sore ini aku mau ke kampung. Bisa nggak dapet bis kalau kesorean,” jawabku.
“Cuman
sebentar kok Dik. Kamu tunggu dulu ya, aku mberesin ini dulu,” Sarah
agak memaksaku sambil membenahi catatan-catatan rapat. Akhirnya aku
duduk kembali.
“Dik,
kamu pacaran sama Nita ya?” tanya Sarah setelah ruangan sepi, tinggal
kami berdua. Aku baru mengerti, Sarah sengaja melama-lamakan membenahi
catatan rapat supaya ada kesempatan ngomong berdua denganku.
“Emangnya, ada apa sih?” aku balik bertanya.
“Enggak ada apa-apa sih .. “ Sarah berhenti sejenak. “Emmm, pengin nanya aja.”
“Enggak kok, aku nggak pacaran sama Nita,” jawabku datar.
“Ah, masa. Temen-temen banyak yang tahu kok, kalau kamu suka jalan bareng sama Nita, sering ke rumah Nita,” kata Sarah lagi.
“Jalan bareng kan nggak lantas berarti pacaran tho,” bantahku.
“Paling
juga pakai alasan kuno ‘Cuma temenan’,” Sarah berkata sambil mencibir,
sehingga wajahnya kelihatan lucu, yang membuatku ketawa. “Cowok di
mana-mana sama aja, banyak bo’ongnya.”
“Ya terserah kamu sih kalau kamu nganggep aku bohong. Yang jelas, sudah aku bilang bahwa aku nggak pacaran sama Nita.”
Aku
sama sekali tidak bohong pada Sarah, karena aku sama Nita memang sudah
punya komitmen untuk ‘tidak ada komitmen’. Maksudnya, hubunganku dengan
Nita hanya sekedar untuk kesenangan dan kepuasan, tanpa janji atau
ikatan di kemudian hari. Hal itu yang kujelaskan seperlunya pada Sarah,
tentunya tanpa menyinggung soal ‘seks’ yang jadi menu utama hubunganku
dengan Nita.
“Nanti malem, mau nggak kamu ke rumahku?” tanya Nita sambil melangkah keluar ruangan bersamaku.
“Kan udah kubilang tadi, aku mau pulang ke rumah ortu nanti,” jawabku.
“Ke rumah ortu apa ke rumah Nita?” tanya Sarah dengan nada menyelidik dan menggoda.
“Kamu mau percaya atau tidak sih, terserah. Emangnya kenapa sih, kok nyinggung-nyinggung Nita terus?” aku gantian bertanya.
“Enggak
kok, nggak kenapa-kenapa,” elak Sarah. Akhirnya kami jalan bersama
sambil ngobrol soal-soal ringan yang lain. Aku dan Sarahpun berpisah di
gerbang sekolah. Nita sudah ditunggu sopirnya, sedang aku langsung
menuju halte. Sebelum berpisah, aku sempat berjanji untuk main ke rumah
Nita lain waktu.
*****
Diam-diam
aku merasa geli. Masak malam minggu itu jalan-jalan sama Sarah harus
ditemani kakaknya, dan diantar sopir lagi. Jangankan untuk ML, sekedar
menciumpun rasanya hampir mustahil. Sebenarnya aku agak ogah-ogahan
jalan-jalan model begitu, tapi rasanya tidak mungkin juga untuk
membatalkan begitu saja. Rupanya aturan orang tua Sarah yang ketat itu,
bakalan membuat hubunganku dengan Sarah jadi sekedar roman-romanan saja.
Praktis acara pada saat itu hanya jalan-jalan ke Mall dan makan di
‘food court’.
Di
tengah rasa bete itu aku coba menghibur diri dengan mencuri-curi
pandang pada Mbak Indah, baik pada saat makan ataupun jalan. Mbak Indah,
adalah kakak sulung Sarah yang kuliah di salah satu perguruan tinggi
terkenal di kota ‘Y’. Dia pulang setiap 2 minggu atau sebulan sekali.
Sama sepertiku, hanya beda level. Kalau Mbak Indah kuliah di ibukota
propinsi dan mudik ke kotamadya, sedang aku sekolah di kotamadya
mudiknya ke kota kecamatan.
Wajah
Mbak Indah sendiri hanya masuk kategori lumayan. Agak jauh dibandingkan
Sarah. Kuperhatikan wajah Mbak Indah mirip ayahnya sedang Sarah mirip
ibunya. Hanya Mbak Indah ini lumayan tinggi, tidak seperti Sarah yang
pendek, meski sama-sama agak gemuk.
Kuperhatikan
daya tarik seksual Mbak Indah ada pada toketnya. Lumayan gede dan
kelihatan menantang kalau dilihat dari samping, sehingga rasa-rasanya
ingin tanganku menyusup ke balik T-Shirtnya yang longgar itu. Aku jadi
ingat Nita. Ah, seandainya tidak aku tidak ke rumah Sarah, pasti aku
sudah melayang bareng Nita.
Saat Sarah ke toilet, Mbak Indah mendekatiku.
“Heh, awas kamu jangan macem-macem sama Sarah!” katanya tiba-tiba sambil memandang tajam padaku.
“Maksud Mbak, apa?” aku bertanya tidak mengerti.
“Sarah itu anak lugu, tapi kamu jangan sekali-kali manfaatin keluguan dia!” katanya lagi.
“Ini ada apa sih Mbak?” aku makin bingung.
“Alah,
pura-pura. Dari wajahmu itu kelihatan kalau kamu dari tadi bete,” aku
hanya diam sambil merasa heran karena apa yang dikatakan Mbak Indah itu
betul.
“Kamu
bete, karena malem ini kamu nggak bisa ngapa-ngapain sama Sarah, ya
kan?” aku hanya tersenyum, Mbak Indah yang tadinya tutur katanya halus
dan ramah berubah seperti itu.
“Eh, malah senyam-senyum,” hardiknya sambil melotot.
“Memang nggak boleh senyum. Abisnya Mbak Indah ini lucu,” kataku.
“Lucu kepalamu,” Mbak Indah sewot.
“Ya luculah. Kukira Mbak Indah ini lembut kayak Sarah, ternyata galak juga!” Aku tersenyum menggodanya.
“Ih,
senyam-senyum mlulu. Senyummu itu senyum mesum tahu, kayak matamu itu
juga mata mesum!” Mbak Indah makin naik, wajahnya sedikit memerah.
“Mbak cakep deh kalau marah-marah,” makin Mbak Indah marah, makin menjadi pula aku menggodanya.
“Denger
ya, aku nggak lagi bercanda. Kalau kamu berani macem-macem sama adikku,
aku bisa bunuh kamu!” kali ini Mbak Indah nampak benar-benar marah.
Akhirnya
kusudahi juga menggodanya melihat Mbak Indah seperti itu, apalagi
pengunjung mall yang lain kadang-kadang menoleh pada kami. Kuceritakan
sedikit tentang hubunganku dengan Sarah selama ini, sampai pada acara
‘apel’ pada saat itu.
“Kalau
soal pengin ngapa-ngapain, yah, itu sih awalnya memang ada. Tapi,
sekarang udah lenyap. Sarah sepertinya bukan cewek yang tepat untuk
diajak ngapa-ngapain, dia mah penginnya roman-romanan aja,” kataku
mengakhiri penjelasanku.
“Kamu ini ngomongnya terlalu terus-terang ya?” Nada Mbak Indah sudah mulai normal kembali.
“Ya buat apa ngomong mbulet. Bagiku sih lebih baik begitu,” kataku lagi.
“Tapi .. kenapa tadi sama aku kamu beraninya lirak-lirik aja. Nggak berani terus-terang mandang langsung?”
Aku
berpikir sejenak mencerna maksud pertanyaan Mbak Indah itu. Akhirnya
aku mengerti, rupanya Mbak Indah tahu kalau aku diam-diam sering
memperhatikan dia.
“Yah .. masak jalan sama adiknya, Mbak-nya mau diembat juga,” kataku sambil garuk-garuk kepala.
Setelah
itu Sarah muncul dan dilanjutkan acara belanja di dept. store di mall
itu. Selama menemani kakak beradik itu, aku mulai sering mendekati Mbak
Indah jika kulihat Sarah sibuk memilih-milih pakaian. Aku mulai lancar
menggoda Mbak Indah.
Hampir
jam 10 malam kami baru keluar dari mall. Lumayan pegal-pegal kaki ini
menemani dua cewek jalan-jalan dan belanja. Sebelum keluar dari mall
Mbak Indah sempat memberiku sobekan kertas, tentu saja tanpa
sepengetahuan Sarah.
“Baca di rumah,” bisiknya.
***
Aku
lega melihat Mbak Indah datang ke counter bus PATAS AC seperti yang
diberitahukannya lewat sobekan kertas. Kulirik arloji menunjukkan jam
setengah 9, berarti Mbak Indah terlambat setengah jam.
“Sori
terlambat. Mesti ngrayu Papa-Mama dulu, sebelum dikasih balik
pagi-pagi,” Mbak Indah langsung ngerocos sambil meletakkan hand-bag-nya
di kursi di sampingku yang kebetulan kosong. Sementara aku tak berkedip
memandanginya. Mbak Indah nampak sangat feminin dalam kulot hitam,
blouse warna krem, dan kaos yang juga berwarna hitam. Tahu aku pandangi,
Mbak Indah memencet hidungku sambil ngomel-ngomel kecil, dan kami pun
tertawa. Hanya sekitar sepuluh menit kami menunggu, sebelum bus
berangkat.
Dalam
perjalanan di bus, aku tak tahan melihat Mbak Indah yang merem sambil
bersandar. Tanganku pun mulai mengelu-elus tangannya. Mbak Indah membuka
mata, kemudian bangun dari sandarannya dan mendekatkan kepalanya
padaku.
“Gimana, Mbaknya mau di-embat juga?” ledeknya sambil berbisik.
“Kan
lain jurusan,” aku membela diri. “Adik-nya jurusan roman-romanan,
Mbak-nya jurusan … “ Aku tidak melanjutkan kata-kataku, tangan Mbak
Indah sudah lebih dulu memencet hidungku. Selebihnya kami lebih banyak
diam sambil tiduran selama perjalanan.
***
Yang
disebut kamar kos oleh Mbak Indah ternyata sebuah faviliun. Faviliun
yang ditinggali Mbak Indah kecil tapi nampak lux, didukung lingkungannya
yang juga perumahan mewah.
“Kok
bengong, ayo masuk,” Mbak Indah mencubit lenganku. “Peraturan di sini
cuman satu, dilarang mengganggu tetangga. Jadi, cuek adalah cara paling
baik.”
Aku
langsung merebahkan tubuhku di karpet ruang depan, sementara setelah
meletakkan hand-bag-nya di dekat kakiku, Mbak Indah langsung menuju
kulkas yang sepertinya terus on.
“Nih, minum dulu, habis itu mandi,” kata Mbak Indah sambil menuangkan air dingin ke dalam gelas.
“Kan tadi udah mandi Mbak,” kataku.
“Ih,
jorok. Males aku deket-deket orang jorok,” Mbak Indah tampak cemberut.
“Kalau gitu, aku duluan mandi,” katanya sambil menyambar hand-bag dan
menuju kamar. Aku lihat Mbak Indah tidak masuk kamar, tapi hanya membuka
pintu dan memasukkan hand-bag-nya. Setelah itu dia berjalan ke belakang
ke arah kamar mandi.
“Mbak,” Mbak Indah berhenti dan menoleh mendengar panggilanku. “Aku mau mandi, tapi bareng ya?”
“Ih,
maunya .. “ Mbak Indah menjawab sambil tersenyum. Melihat itu aku
langsung bangkit dan berlari ke arah Mbak Indah. Langsung kupeluk dia
dari belakang tepat di depan pintu kamar mandi. Kusibakkan rambutnya,
kuciumi leher belakangnya, sambil tangan kiriku mengusap-usap pinggulnya
yang masih terbungkus kulot. Terdengar desahan Mbak Indah, sebelum dia
memutar badan menghadapku. Kedua tangannya dilingkarkan ke leherku.
“Katanya
mau mandi?” setelah berkata itu, lagi-lagi hidungku jadi sasaran,
dipencet dan ditariknya sehingga terasa agak panas. Setelah itu
diangkatnya kaosku, dilepaskannya sehingga aku bertelanjang dada.
Kemudian tangannya langsung membuka kancing dan retsluiting jeans-ku.
Lumayan cekatan Mbak Indah melakukannya, sepertinya sudah terbiasa.
Seterusnya aku sendiri yang melakukannya sampai aku sempurna telanjang
bulat di depan Mbak Indah.
“Ih, nakal,” kata Mbak Indah sambil menyentil rudalku yang terayun-ayun akibat baru tegang separo.
“Sakit Mbak,” aku meringis.
“Biarin,”
kata Mbak Indah yang diteruskan dengan melepas blouse-nya kemudian kaos
hitamnya, sehingga bagian atasnya tinggal BH warna hitam yang masih
dipakainya. Aku tak berkedip memandangi sepasang toket Mbak Indah yang
masih tertutup BH, dan Mbak Indah tidak melanjutkan melepas pakainnya
semua sambil tersenyum menggoda padaku.
Birahi
benar-benar sudah tak bisa kutahan. Langsung kuraih dan naikkan BH-nya,
sehingga sepasang toket-nya yang besar itu terlepas.
“Ih,
pelan-pelan. Kalau BH-ku rusak, emangnya kamu mau ganti,” lagi-lagi
hidungku jadi sasaran. Tapi aku sudah tidak peduli. Sambil memeluknya
mulutku langsung mengulum tokenya yang sebelah kanan.
Mbak
Indah tidak berhenti mendesah sambil tangannya mengusap-usap rambutku.
Aku makin bersemangat saja, mulutku makin rajin menggarap toketnya
sebelah kanan dan kiri bergantian. Kukulum, kumainkan dengan lidah dan
kadang kugigit kecil. Akibat seranganku yang makin intens itu Mbak Indah
mulai menjerit-jerit kecil di sela-sela desahannya.
Beberapa
menit kulakukan aksi yang sangat dinikmati Mbak Indah itu, sebelum
akhirnya dia mendorong kepalaku agar terlepas dari toketnya. Mbak Indah
kemudian melepas BH, kulot dan CD-nya yang juga berwarna hitam.
Sementara bibirnya nampak setengah terbuka sambil mendesi lirih dan
matanya sudah mulai sayu, pertanda sudah horny berat.
Belum
sempat mataku menikmati tubuhnya yang sudah telanjang bulat, tangan
kananya sudah menggenggam rudalku. Kemudian Mbak Indah berjalan mundur
masuk kamar mandi sementara rudalku ditariknya. Aku meringis menahan
rasa sakit, sekaligus pengin tertawa melihat kelakuan Mbak Indah itu.
Mbak
Indah langsung menutup pintu kamar mandi setelah kami sampai di dalam,
yang diteruskan dengan menghidupkan shower. Diteruskannya dengan menarik
dan memelukku tepat di bawah siraman air dari shower. Dan …
“mmmmhhhh
…. “ bibirnya sudah menyerbu bibirku dan melumatnya. Kuimbangi dengan
aksi serupa. Seterusnya, siraman air shower mengguyur kepala, bibir
bertemu bibir, lidah saling mengait, tubuh bagian depan menempel ketat
dan sesekali saling menggesek, kedua tangan mengusap-usap bagian
belakang tubuh pasangan, “Aaaaaahhh,” nikmat luar biasa.
Tak
ingat berapa lama kami melakukan aksi seperti itu, kami melanjutkannya
dalam posisi duduk, tak ingat persis siapa yang mulai. Aku duduk
bersandar pada dinding kamar mandi, kali ku luruskan, sementar Mbak
Indah duduk di atas pahaku, lututnya menyentuh lantai kamar mandi.
Kemudian kurasakan Mbak Indah melepaskan bibirnya dari bibirku, pelahan
menyusur ke bawah. Berhenti di leherku, lidahnya beraksi menjilati
leherku, berpindah-pindah. Setelah itu, dilanjutkan ke bawah lagi,
berhenti di dadaku. Sebelah kanan-kiri, tengah jadi sasaran lidah dan
bibirnya. Kemudian turun lagi ke bawah, ke perut, berhenti di pusar.
Tangannya menggenggam rudalku, didorong sedikit ke samping dengan
lembut, sementara lidahnya terus mempermainkan pusarku. Puas di situ,
turun lagi, dan bijiku sekarang yang jadi sasaran. Sementara lidahnya
beraksi di sana, tangan kanannya mengusap-usap kepala rudalku dengan
lembut. Aku sampai berkelojotan sambil mengerang-erang menikmati aksi
Mbak Indah yang seperti itu.
Pelahan-lahan
bibirnya merayap naik menyusuri batang rudalku, dan berhenti di bagian
kepala, sementara tangannya ganti menggenggam bagian batang. Kepala
rudalku dikulumnya, dijilati, berpindah dan berputar-putar, sehingga tak
satu bagianpun yang terlewat. Beberapa saat kemudian, kutekan kepala
Mbak Indah ke bawah, sehingga bagian batanku pun masuk 2/3 ke mulutnya.
Digerakkannya kepalanya naik turun pelahan-lahan, berkali-kali.
Kadang-kadang aksinya berhenti sejenak di bagian kepala, dijilati lagi,
kemudian diteruskan naik turun lagi. Pertahananku nyaris jebol, tapi aku
belum mau terjadi saat itu. Kutahan kepalanya, kuangkat pelan, tapi
Mbak Indah seperti melawan. Hal itu terjadi beberapa kali, sampai
akhirnya aku berhasil mengangkat kepalanya dan melepas rudalku dari
mulutnya.
Kuangkat
kepala Mbak Indah, sementara matanya terpejam. Kudekatkan, dan kukulum
lembut bibirnya. Pelan-pelan kurebahkan Mbak Indah yang masih memejamkan
mata sambil mendesis itu ke lantai kamar mandi. Kutindih sambil mulutku
melahap kedua toketnya, sementara tanganku meremasnya bergantian.
Erangannya,
desahannya, jeritan-jeritan kecilnya bersahut-sahutan di tengah
gemericik siraman air shower. Kuturunkan lagi mulutku, berhenti di
gundukan yang ditumbuhi bulu lebat, namun tercukur dan tertata rapi.
Beberapa kali kugigit pelan bulu-bulu itu, sehingga pemiliknya
menggelinjang ke kanan kiri. Kemudian kupisahkan kedua pahanya yang
putih,besar dan empuk itu. Kubuka lebar-lebar. Kudaratkan bibirku di
bibir memeknya, kukecup pelan. Kujulurkan lidahku, kutusuk-tusukan pelan
ke daging menonjol di antar belahan memek Mbak Indah. Pantat Mbak Indah
mulai bergoyang-goyang pelahan, sementara tangannya menjambak atau
lebih tepatnya meremas rambutku, karena jambakannya lembut dan tidak
menyakitkan. Kumasukkan jari tengahku ku lubang memeknya, ku keluar
masukkan dengan pelan. Desisan Mbak Indah makin panjang, dan sempat ku
lirik matanya masih terpejam. Kupercepat gerakan jariku di dalam lubang
memeknya, tapi tangannya langsung meraih tanganku yang sedang beraksi
itu dan menahannya. Kupelankan lagi, dan Mbak melepas tangannya dari
tanganku. Setiap kupercepat lagi, tangan Mbak Indah meraih tanganku
lagi, sehingga akhirnya aku mengerti dia hanya mau jariku bergerak
pelahan di dalam memeknya.
Beberapa
menit kemudian, kurasakan Mbak Indah mengangkat kepalaku menjauhkan
dari memeknya. Mbak Indah membuka mata dan memberi isyarat padaku agar
duduk bersandar di dinding kamar mandi. Seterusnya merayap ke atasku,
mengangkang tepat di depanku. Tangannya meraih rudalku, diarahkan dan
dimasukkan ke dalam lubang memeknya.
“Oooooooooooohh
,” Mbak Indah melenguh panjang dan matanya kembali terpejam saat
rudalku masuk seluruhnya ke dalam memeknya. Mbak Indah mulai bergerak
naik-turun pelahan sambil sesekali pinggulnya membuat gerakan memutar.
Aku tidak sabar menghadapi aksi Mbak Indah yang menurutku terlalu
pelahan itu, mulai kusodok-sodokkan rudalku dari bawah dengan cukup
cepat. Mbak Indah menghentikan gerakannya, tangannya menekan dadaku
cukup kuat sambil kepala menggeleng, seperti melarangku melakukan aksi
sodok itu. Hal itu terjadi beberapa kali, yang sebenarnya membuatku agak
kecewa, sampai akhirnya Mbak Indah membuka matanya, tangannya mengusap
kedua mataku seperti menyuruhkan memejamkan mata. Aku menurut dan
memejamkan mataku.
Setelah
beberapa saat aku memejamkan mata, aku mulai bisa memperhatikan dengan
telingaku apa yang dari tadi tidak kuperhatikan, aku mulai bisa
merasakan apa yang dari tadi tidak kurasakan. Desahan dan erangan Mbak
Indah ternyata sangat teratur dan serasi dengan gerakan
pantatnya,sehingga suara dari mulutnya, suara alat kelamin kami yang
menyatu dan suara siraman air shower seperti sebuah harmoni yang begitu
indah. Dalam keterpejaman mata itu, aku seperti melayang-layang dan
sekelilingku terasa begitu indah, seperti nama wanita yang sedang
menyatu denganku. Kenikmatan yang kurasakan pun terasa lain, bukan
kenikmatan luar biasa yang menhentak-hentak, tapi kenikmatan yang
sedikit-sedikit, seperti mengalir pelahan di seluruh syarafku, dan
mengendap sampai ke ulu hatiku.
Beberapa
menit kemudian gerakan Mbak Indah berhenti pas saat rudalku amblas
seluruhnya. Ada sekitar 5 detik dia diam saja dalam posisi seperti itu.
Kemudian kedua tangannya meraih kedua tanganku sambil melontarkan
kepalanya ke belakang. Kubuka mataku, kupegang kuat-kuat kedua telapak
tangannya dan kutahan agar Mbak Indah tidak jatuh ke belakang. Setelah
itu pantatnya membuat gerakan ke kanan-kiri dan terasa menekan-nekan
rudal dan pantatku.
“Aaa
.. aaaaaa … aaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhh,” desahan dan jeritan kecil
Mbak Indah itu disertai kepala dan tubuhnya yang bergerak ke depan. Mbak
Indah menjatuhkan diri padaku seperti menubruk, tangannya memeluk
tubukku, sedang kepalanya bersandar di bahu kiriku. Ku balas memeluknya
dan kubelai-belai Mbak Indah yang baru saja menikmati orgasmenya. Sebuah
cara orgasme yang eksotik dan artistik.
Setelah
puas meresapi kenikmatan yang baru diraihnya, Mbak Indah mengangkat
kepala dan membuka matanya. Dia tersenyum yang diteruskan mencium
bibirku dengan lembut. Belum sempat aku membalas ciumannya, Mbak Indah
sudah bangkit dan bergeser ke samping. Segera kubimbing dia agar rebahan
dan telentang di lantai kamar mandi. Mbak Indah mengikuti kemauanku
sambil terus menatapku dengan senyum yang tidak pernah lepas dari
bibirnya. Kemudian kuarahkan rudalku yang rasanya seperti empot-empotkan
ke lubang memeknya, kumasukkan seluruhnya. Setelah amblas semuanya Mbak
Indah memelekku sambil berbisik pelan.
“Jangan
di dalam ya sayang, aku belum minum obat,” aku mengangguk pelan
mengerti maksudnya. Setelah itu mulai kugoyang-goyang pantatku
pelan-pelan sambil kupejamkan mata. Aku ingin merasakan kembali
kenikmatan yang sedikit-sedikit tapi meresap sampai ke ulu hati seperti
sebelumnya. Tapi aku gagal, meski beberapa lama mencoba. Akhirnya aku
membuat gerakan seperti biasa, seperti yang biasa kulakukan pada tante
Ani atau Nita. Bergerak maju mundur dari pelan dan makin lama makin
cepat.
“Aaaah…
Hoooohh,” aku hampir pada puncak, dan Mbak Indah cukup cekatan.
Didorongnya tubuhku sehingga rudalku terlepas dari memeknya. Rupanya dia
tahu tidak mampu mengontrol diriku dan lupa pada pesannya. Seterusnya
tangannya meraih rudalku sambil setengah bangun. Dikocok-kocoknya dengan
gengaman yang cukup kuat, seterusnya aku bergeser ke depan sehingga
rudalku tepat berada di atas perut Mbak Indah.
“Aaaaaaaah
… aaaaaaahhh … crottt… crotttt ..,” beberapa kali spermaku muncrat
membasahi dada dan perut Mbak Indah. Aku merebahku tubuhku yang terasa
lemas di samping Mbak Indah, sambil memandanginya yang asyik mengusap
meratakan spermaku di tubuhnya.
“Hampir lupa ya?” lagi-lagi hidungku jadi sasarannya waktu Mbak Indah mengucapkan kata-kata itu.
***
Selama
di bus dalam perjalanan pulang aku memejamkan mata sambil
mengingat-ingat pengalaman yang baru saja ku dapat dari Mbak Indah. Saat
di kamar mandi, dan saat mengulangi sekali lagi di kamarnya. Seorang
wanita dengan gaya bersetubuh yang begitu lembut dan penuh perasaan.
“Kalau
sekedar mengejar kepuasan nafsu, itu gampang. Tapi aku mau lebih. Aku
mau kepuasan nafsuku selaras dengan kepuasan yang terasa di jiwaku.”
Kepuasan
yang terasa di jiwa, itulah hal yang kudapat dari Mbak Indah dan hanya
dari Mbak Indah, karena kelak setelah gonta-ganti pasangan, tetap saja
belum pernah kudapatkan kenikmatan seperti yang kudapatkan dari Mbak
Indah. Kepuasan dan kenikmatan yang masih terasa dalam jangka waktu yang
cukup lama meskipun persetubuhan berakhir.
“Ingat
ya, jangan pernah sekali-kali kamu lakukan sama Sarah. Kalau sampai
kamu lakukan, aku tidak akan pernah memaafkan kamu!” Aku terbangun,
rupanya dalam tidurku aku bermimpi Mbak Indah memperingatkanku tentang
Sarah, adiknya. Dan bus pun sudah mulai masuk terminal.
Adik dan Kakak
based on 99998 ratings.
5 user reviews.
.